Thursday, June 26, 2008

Islam Benar-benar Mengubahku

Ini adalah salah satu di antara empat belas pengalaman mualaf Amerika, yang dikisahkan di dalam buku Bulan Sabit di Atas Patung Liberty, terbitan mizania, 2007.

Segalanya Tidak Ideal

Namaku Diana Beatty; sebagian orang memanggilku Masooma Amtullah, tetapi kebanyakannya tidak. Usiaku mendekati 23 tahun dan aku baru memeluk agama Islam kira-kira tiga tahun silam.

Aku mahasiswa jurusan fisika dan ingin menjadi guru. Aku berasal dari Colorado, Amerika Serikat. Ayah dan saudara-saudaraku ahli listrik. Aku hanya memiliki seorang saudara kandung laki-laki, yang berusia 27 tahun, telah menikah dan mempunyai dua orang anak. Dia tinggal dua rumah jauhnya dari rumah orang tuaku. Ibuku seorang sekretaris bidang hukum pada kantor Kejaksaan County.

Tak satupun dari anggota keluargaku yang sempat mengenyam pendidikan tinggi. Ayahku pemabuk dan perokok berat, dan kebiasaannya itu telah menyusahkan seisi rumah karena dia menjadi egoistis dan cepat marah. Dia seperti bangkai hidup. Ibuku sering bertengkar dengannya dan menjalani perkawinan yang menyedihkan. Akan tetapi, dari luar, mereka terlihat hidup rukun.

Tidak Mengenal Islam

Ketika aku mulai kuliah, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan seorang Muslim. Setelah bertemu dengan beberapa orang Muslim lain, lambat laun aku menyadari betapa aku tidak mengenal Islam dan umatnya. Banyak hal yang kuketahui tentang Islam saat aku remaja ternyata keliru, tetapi aku memang tak tahu-menahu soal Islam. Aku menjadi ingin mengenal agama tersebut karena sikap baik kaum Muslim yang menarik hatiku; demikian pula ketulusan dan shalat kaum Muslim.

Gagasan tentang sebuah agama yang membimbing kita dalam setiap aspek kehidupan memang merupakan sesuatu yang tengah kucari. Aku tumbuh sebagai seorang Kristen, dan saat bertemu dengan kaum Muslim, aku tengah giat-giatnya menjalankan agama Kristen dan bersungguh-sungguh mengkaji Injil. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan menyangkut Injil tetap tak terjawab olehku. Namun, Al-Quran menjawabnya.

Semula aku tak suka membaca Al-Quran karena ia menyatakan bahwa Isa bukanlah Anak Tuhan, dan pernyataannya tentang perang yang selalu bergaung di dalam pikiranku serta apa yang pernah kudengar tentang terorisme dan kekerasan kaum Muslim. Akan tetapi, kaum Muslim yang kukenal kujadikan contoh tentang sosok seorang Muslim itu, dan melihat betapa kelirunya pandangan miring yang kumiliki sejak kecil. Aku bertanya-tanya bagaimana aku tahu Injil benar sedangkan Al-Quran salah, khususnya ketika terdapat begitu banyak kemiripin dan tampak keduanya berasal dari sumber yang sama. Aku tak dapat mempercayai guruku yang mengajariku Injil ketika dia mengatakan bahwa Al-Quran berasal dari setan dan menjadi serupa dengan Injil tetapi penuh dusta.

Islam sebagai Pilihan

Aku juga tak percaya bahwa kaum Muslim ini, yang secara umum jauh lebih taat dalam menjalankan agama Tuhan daripada kaum Kristen, akan masuk ke neraka seperti yang pernah diajarkan kepadaku. Ketika aku melanjutkan kajianku, aku mampu membaca Injil berdasarkan sebuah pandangan baru, dan melihat berbagai pertentangan, kekeliruan, dan kesesatan logika. Akan tetapi, semua kekeliruan dan pertentangan ini tak ada dalam Al-Quran. Apa yang dinyatakan Al-Quran tentang Tuhan, tujuan kita dan segalanya, menurutku lebih masuk akal dan mudah dimengerti. Aku yakin bahwa Tuhan akan membekali kita dengan sebuah agama yang memang dapat kita pahami dan jujur. Memang sulit, tetapi setelah beberapa bulan aku mempelajari kedua agama itu, Islam keluar sebagai pilihan. Aku menjadi sangat yakin bahwa Islam adalah sebagai agama sejati yang diutus Allah SWT, kepada kita dan karena itu aku anut. Ketika itu, aku masih kurang yakin menyangkut berbagai hal. Aku kurang yakin khususnya menyangkut jilbab, dan aku tak tahu apa-apa tentang cara shalat dan sebagainya, tetapi akhirnya aku mulai belajar.

Sangat sulit menyimpulkan bahwa setiap orang yang pernah kukenal – guru, kedua orang tua, kakek, teman, dan penginjilku – semuanya keliru. Sangatlah sulit memutuskan untuk menentang keluargaku dan melakukan sesuatu yang tak akan mereka sukai atau pahami. Aku takut salah memilih. Agama Kristen mengajarkan, bahwa jika Anda tidak beriman bahwa Isa a.s. wafat demi dosa-dosa Anda, Anda akan masuk neraka (setidak-tidaknya demikianlah yang dikatakan oleh para pendeta kepadaku). Aku pun takut tergelincir. Aku takut teman sebaya, rekan, dan bosku akan bereaksi negatif. Keluargaku juga mungkin akan mengasingkanku. Memang keluargaku membenci pilihan itu, tetapi tidak mengasingkanku. Hubungan kita selamanya berubah.

Kesulitan Keluarga

Setiap kali aku bercakap-cakap dengan ibuku, dia selalu mengeluhkan pakaian Islamku. Tampaknya itu benar-benar mengganggu mereka, dan dia akan memberiku literatur Kristen dan sebagainya. Saat pertama kukenakan jilbab, dia mengomeliku selama satu minggu. Yang sangat menyakitkan, dia menulis sepucuk surat kepadaku dan menyatakan itu sebagai tamparan di wajahnya, bahwa aku telah melupakan jerih payahnya membesarkanku dan balasannya adalah aku menjadi orang Arab. Mereka meyakinkan diri bahwa aku melakukan hal itu hanya demi suamiku yang Muslim (aku akhirnya memang menikah dengan seorang Muslim). Mereka tak menyukainya dan ingin agar pekawinan kami berakhir. Para anggota keluargaku mengatakan kepadaku bahwa aku akan masuk neraka.

Tidaklah sulit meninggalkan makanan yang haram dan alkohol; melaksanakan shalat, mengenakan jilbab (meski semula memang agak sulit). Satu-satunya hal yang sangat sulit adalah menyakiti hati keluargaku dan terus-menerus ditekan oleh mereka.

Dalam proses ini, aku sungguh-sungguh kehilangan beberapa orang yang tak dapat menerima perubahan itu, tetapi kebanyakan teman-temanku biasa-biasa saja. Aku pun tak menghadapi masalah dalam menyelesaikan banyak pekerjaan akibat pilihanku untuk mengenakan jilbab. Secara umum, aku tidak didiskriminasikan di kampus, meski Anda harus menatap muka dan bersikap formal terhadap rekan sekerja. Menurutku, kebanyakan orang menghargai apa yang aku yakini. Hanya keluargaku saja yang menghadapi persoalan berat, sebab aku adalah anak mereka. Dan pria tak habis pikir mengapa aku menolak untuk menjabat tangan mereka.

Serasa Pulang ke Rumah

Sulit menjelaskan kepada orang yang tak pernah merasakan bagaimana Islam dapat mengubah dan memperbaiki hidup seseorang. Akan tetapi, Islam benar-benar telah mengubahku. Kini, aku tak ragu lagi terhadap tujuan hidup di dunia ini dan bahwa aku tengah menempuh jalan yang lurus. Sebelumnya aku sungguh-sungguh tak pernah tahu, dan kini aku rasa tenteram bersama Islam. Kehendak Tuhan sangatlah berarti bagiku dan aku memiliki keyakinan tentang dari mana asalku. Di samping itu, melalui Islam, jarang ada persoalan taksa mengenai apakah sesuatu benar atau salah. Berbeda dengan teman-teman Kristenku yang sering ragu apakah mereka melakukan hal yang benar. Aku akhirnya dapat berpegang pada sesuatu yang benar-benar teguh dan aku tak tersesat lagi. Aku bahkan sungguh-sunggu tidak tahu bahwa aku tengah tersesat sebelumnya, tetapi ketika kutemukan agama Islam dan menerawang ke masa lalu, jelaslah bagiku bahwa aku tengah melakukan pencarian selama bertahun-tahun. Alhamdulillah, aku beroleh petunjuk.

Islam juga memperbaiki hidupku sebagai seorang perempuan. Sebab, akhirnya aku tahu bahwa kaum pria Muslim yang baik jauh lebih menghargai kaum perempuan dibandingkan dengan kebiasaan yang ada di kalangan masyarakat Amerika, tempat aku dibesarkan. Aku merasa istimewa menjadi seorang perempuan. Sebelumnya aku merasa kurang bersyukur menjadi seorang perempuan karena menurutku hidupku akan lebih mudah seandainya aku menjadi seorang lelaki. Sebab, sebagai seorang perempuan aku dulu benar-benar dihadapkan kepada tanggung jawab besar untuk bekerja sepenuh waktu; merawat rumah tangga, memasak, mencuci, dan merasa tak pernah cocok dengan semua peran itu. Sebagai Muslimah, aku merasa lebih bebas untuk memperhatikan diri, memilih jalan yang benar-benar selaras dengan sifatku, membuat orang lain menerima hal itu, dan merasa tak ada masalah menjadi seorang perempuan – seperti pulang ke rumah. Memeluk agama Islam serasa pulang ke rumah.

Kunjungi : "http://www.mizan.com/"

Buat Apa Sholat.....?

Pertanyaan itu datang dari seorang teman saat saya mengajaknya sholat.

“Yang penting kan aqidah, ahlak, ngapain kita sholat, puasa, naik haji dan bayar zakat kalau masih juga nyolong, korupsi, nipu dsb,” cetus teman saya itu lagi.

Anda kaget mendengarnya?

Bagaimana jika ternyata pernyataan semacam itu dilontarkan oleh jutaan orang di seluruh dunia, terlebih jika orang-orang itu Muslim?

Sejujurnya saya merasa bersyukur karena masih bisa menikmati ritual ibadah dalam Rukun Islam sekalipun saya belum memiliki ahlak dan aqidah semulia Rosululloh SAW.

Setidaknya bisa menikmati ibadah-ibadah tersebut dan berusaha tidak melanggar aturan-aturan dasar sudah menjadi hal yang membahagiakan bagi saya selain hal tersebut menjadi pendorong untuk terus meningkatkan kualitas maupun kuantitasnya.

Sebagai seorang Muslim yang sudah merasakan dahsyatnya dampak yang diberikan oleh ritual ibadah dalam Rukun Islam terutama sholat, ada semacam kecanduan dalam diri untuk terus menggali seluruh potensi yang tersimpan di dalamnya.

Saya mulai belajar sholat secara khusyu’ sejak tahun 1993 lalu dari seorang Ustadz Zainal Arifin. Cara beliau mengajari sholat lumayan unik. Menurut beliau, sholat khusyu’ harus memiliki dampak kepada pendirinya hingga setelah selesai dan memulai sholat lagi.


Konsep-konsep penting yang beliau tekankan mengenai sholat adalah sebagai berikut:
  • Sholat harus dilakukan seolah-olah itu adalah ibadah terakhir yang kita lakukan di saat-saat terakhir kehidupan kita.
  • Jika kita diberitahu bahwa umur kita sudah habis oleh malaikat pencabut nyawa, tentunya kita akan berusaha melakukan hal-hal yang terbaik yang bisa dilakukan dalam upaya menunggu datangnya kematian tersebut.
Walaupun mungkin ada beberapa orang yang saat menerima vonis kematiannya sudah dekat, mereka malah semakin mejauh dari kebaikan dan melakukan kerusakan secara internal maupun ekseternal dimana-mana.

Untuk mendapatkan sholat maupun ibadah lainnya yang berkualitas, kita pasti akan berusaha sebaik-baiknya melaksanakannya.

Kita akan berharap semoga amal ibadah yang dilakukan tersebut dapat diterima oleh Alloh SWT dan diridhoi oleh-Nya.

Sholat adalah sarana untuk mendeteksi dan merasukkan keberadaan Alloh SWT.

Sholat adalah aktivitas yang menyatukan antara jiwa, raga dan ruh kita. Penyatuan tersebut haruslah difokuskan pada pendeteksian akan keberadaan wujud Alloh SWT. Dalam hal ini konsep mengenai ihsan menjadi penting.

Segenap kemampuan inderawi kita, baik yang berjalan di dalam sistem kesadaran maupun bawah sadar kita harus didayagunakan untuk mencapai hal tersebut.

Setidaknya pada saat kita mendirikan sholat, tanamkan secara terus-menerus dalam otak kita bahwa kita sedang berhadapan dengan Alloh SWT dan Dia sedang terus-menerus memperhatikan kita dengan segala ke-Maha Terpujiannya. Hal inipun sebenarnya menjadi semacam pertanyaan mendasar tentang asumsi beberapa orang yang menganggap sholat adalah meditasi Islami.

Sholat bukanlah meditasi karena sholat adalah perangkat untuk berdialog dengan Alloh SWT. Sedangkan meditasi lebih menekankan pada aspek perenungan dan dialog dengan diri sendiri. Di dalam meditasi tidak diajarkan bagaimana merasukkan keberadaan Allah SWT dalam diri kita. Sedangkan sholat merupakan latihan intensif dan radikal dalam mewujudkan bersatunya Dzat Ilahiyah dalam diri kita dengan sumbernya langsung.


Sholat adalah sarana untuk mencuci otak dan kesadaran kita.

Salah satu syarat sahnya sholat adalah kesadaran penuh pelakunya. Tanpa kesadaran yang penuh maka sholat hanyalah aktivitas olah raga dan pembacaan kalimat tanpa makna.

Padahal seharusnya sholat adalah instalasi dan pengaturan kesadaran dan bawah sadar kita akan makna-makna aqidah dan hakikat yang sudah digariskan oleh Alloh SWT.

Dengan aktivitas yang berulang dan berkesinambungan, diharapkan pikiran dan sikap kita akan berubah secara bertahap sehingga terwujudkan di segala aspek kehidupan kita.


Sholat adalah tiang Dienul Islam.

Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya bahwa dalam sholat ditanamkan dan dirasukkan dalam diri kita mengenai nilai-nilai aqidah dan hakikat sebagaimana yang digariskan oleh Alloh SWT.

Meninggalkan sholat berarti meninggalkan kesempatan bagi diri kita untuk terus-menerus menerima siraman nilai-nilai tersebut yang dampaknya adalah runtuhnya nilai-nilai tersebut dari sendi-sendi kehidupan kita.


Jadikan hari-hari kita untuk menunggu waktu sholat.

Tentunya kita masih ingat saat hati berdebar-debar menanti waktu akhir pekan untuk apel ke rumah kekasih kita. Apel adalah hal yang sangat kita nantikan kedatangannya karena kerinduan kita pada si dia (atau si mereka )

Jika kita menjadikan sholat sebagaimana apel, tentunya akan tertanamkan kerinduan yang mendalam dalam hati kita untuk segera bertemu sang kekasih, Alloh SWT. Kerinduan yang mendalam tersebut akan menjadikan kita tidak menunda-nunda sholat dan menjadikannya prioritas pertama dalam aktivitas keseharian kita.

Jadi masihkah kita belum yakin pentingnya sholat? Ayo kita sama-sama belajar sholat yang benar dan khusyu’.

Sumber: "http://www.setiabudi.name/archives/89"